Setiap awal bulan, seperti biasanya saya mengantarkan ayah saya ke kantor BTPN di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, untuk mencairkan dana pensiun. Sudah beberapa tahun belakangan ini, ayah selalu diantar untuk menghindari terulangnya kejadian beliau salah naik angkutan umum ketika pergi sendirian. Pernah waktu itu, beliau pulang sudah malam sewaktu berangkat seorang diri karena salah memilih jurusan bis kota.
Pagi tadi, kami berangkat berdua memang agak siang dibanding pada bulan sebelumnya, yakni pukul 05.00 lewat atau mendekati jam setengah enam pagi. Pasalnya, saya harus mencari-cari E-Karip terlebih dahulu yang entah disimpan di mana. Kartu tersebut dibawa ke kantor bank tersebut untuk berjaga-jaga saja, jika nanti diperlukan, maka sudah tersedia di dompet.
Meskipun waktu berangkat untuk menuju ke kantor tersebut terbilang agak kesiangan, namun jalanan masih terlihat gelap dan lampu jalan juga masih menyala karena memang matahari belum menampakkan dirinya. Sepertinya biasanya, kami melalui jalan-jalan yang biasa dilewati pada bulan-bulan sebelumnya. Menjelang kawasan Harmoni, nampak para pekerja sedang melakukan perbaikan Jalan Majapahit. Sepertinya, pekerjaan tersebut dilakukan sejak dini hari dan belum selesai hingga kami melintas.
Akhirnya, kami tiba dengan selamat di gedung bank tersebut menjelang pukul 6 pagi. Lamanya perjalanan dari rumah di kawasan Kembangan Selatan untuk bisa sampai di sana, kira-kira memakan waktu selama 35 menit. Tiba tempat parkir sepeda motor, sudah terlihat beberapa pengendara memarkirkan kendaraan roda duanya di sana. Kemudian, saya memilih parkir di tempat yang terdapat kanopi sebab masih tersedia ruang kosong. Memarkirkan kuda besi di sini, jika hujan, maka motor tidak kebasahan.
Sementara saya berada di tempat parkir, ayah terlebih dahulu masuk ke Gedung C bank tersebut untuk mengambil nomor antrian. Ternyata, nomor antrian yang diperoleh menjelang jam 6 pagi tersebut adalah 373. Padahal, loket baru dibuka menjelang jam 7 pagi, tetapi nomor antrian sudah menggelembung seperti itu. Dalam hati saya bertanya, mungkinkah ada seseorang atau banyak orang yang mengambil nomor antrian lebih dari satu? Kalau melihat orang-orang yang duduk di kursi, rasanya tidak mencapai 300an orang.
Pada bulan-bulan sebelumnya, memang tidak pernah mendapatkan nomor antrian di atas 300, hanya sekisaran 200an saja. Dengan nomor antrian sebesar 373, rasanya kami akan menunggu lama di gedung tersebut. Meskipun ada 3 loket yang dibuka, tetapi sepertinya untuk melayani satu orang nasabah membutuhkan waktu yang cukup lama.
Benar saja, sekira pukul 9, jumlah antrian yang sudah dipanggil belum ada setengah dari nomor antrian yang ayah miliki. Karena lamanya menunggu antrian, saya lalu untuk ke luar dari area bank tersebut menuju ke pinggiran Jalan Gunung Sahari untuk berjalan-jalan, mungkin saya menemukan penjual koran, ternyata tidak.
Sembari melihat-lihat lalu-lintas di Jalan Gunung Sahari di kawasan tersebut, mata saya tertuju ke beberapa spanduk yang terpasang pada pagar yang ada di tengah-tengah jalan tersebut. Ada 3 spanduk yang saya perhatikan. Ternyata, spanduk-spanduk tersebut berisi tulisan tentang kekecewaan terhadap Menpora. Hal ini berkaitan dengan kisruh organisasi sepak bola Indonesia. Lalu, saya sempat memvideokan spanduk-spanduk tersebut.
Karena menunggu nomor antrian yang masih lama dipanggil, perut sudah memanggil-manggil minta diisi. Awalnya, ayah menginginkan untuk memakan nasi uduk, tetapi kami tidak menemukan pedagangnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk memakan ketoprak saja yang penjualnya berada di luar tempat parkir motor.
Baru kali ini, kami mengalami menunggu antrian paling lama. Sudah jam 10, belum juga dipanggil. Pukul sebelas sudah lewat pun, panggilan belum datang juga. Akhirnya, jam 12 lebih sedikit, tulisan nomor antrian 373 terpampang di papan pada loket nomor 9. Ayah lalu mendatangi teller di loket tersebut untuk mengambil dana pensiun. Setelah dana diterima, sang teller juga memberikan sebungkus roti.
Hari ini merupakan hari yang cukup melelahkan hanya untuk urusan yang namanya menunggu. Betapa tidak, membutuhkan waktu sekira 6 jam untuk bisa menuju ke meja teller. Bagaimana dengan yang memiliki nomor antrian 600 atau 700, mungkin bisa sampai sore hari. Menunggu memang kegiatan yang tidak mengenakkan.
Pagi tadi, kami berangkat berdua memang agak siang dibanding pada bulan sebelumnya, yakni pukul 05.00 lewat atau mendekati jam setengah enam pagi. Pasalnya, saya harus mencari-cari E-Karip terlebih dahulu yang entah disimpan di mana. Kartu tersebut dibawa ke kantor bank tersebut untuk berjaga-jaga saja, jika nanti diperlukan, maka sudah tersedia di dompet.
Meskipun waktu berangkat untuk menuju ke kantor tersebut terbilang agak kesiangan, namun jalanan masih terlihat gelap dan lampu jalan juga masih menyala karena memang matahari belum menampakkan dirinya. Sepertinya biasanya, kami melalui jalan-jalan yang biasa dilewati pada bulan-bulan sebelumnya. Menjelang kawasan Harmoni, nampak para pekerja sedang melakukan perbaikan Jalan Majapahit. Sepertinya, pekerjaan tersebut dilakukan sejak dini hari dan belum selesai hingga kami melintas.
Akhirnya, kami tiba dengan selamat di gedung bank tersebut menjelang pukul 6 pagi. Lamanya perjalanan dari rumah di kawasan Kembangan Selatan untuk bisa sampai di sana, kira-kira memakan waktu selama 35 menit. Tiba tempat parkir sepeda motor, sudah terlihat beberapa pengendara memarkirkan kendaraan roda duanya di sana. Kemudian, saya memilih parkir di tempat yang terdapat kanopi sebab masih tersedia ruang kosong. Memarkirkan kuda besi di sini, jika hujan, maka motor tidak kebasahan.
Sementara saya berada di tempat parkir, ayah terlebih dahulu masuk ke Gedung C bank tersebut untuk mengambil nomor antrian. Ternyata, nomor antrian yang diperoleh menjelang jam 6 pagi tersebut adalah 373. Padahal, loket baru dibuka menjelang jam 7 pagi, tetapi nomor antrian sudah menggelembung seperti itu. Dalam hati saya bertanya, mungkinkah ada seseorang atau banyak orang yang mengambil nomor antrian lebih dari satu? Kalau melihat orang-orang yang duduk di kursi, rasanya tidak mencapai 300an orang.
Pada bulan-bulan sebelumnya, memang tidak pernah mendapatkan nomor antrian di atas 300, hanya sekisaran 200an saja. Dengan nomor antrian sebesar 373, rasanya kami akan menunggu lama di gedung tersebut. Meskipun ada 3 loket yang dibuka, tetapi sepertinya untuk melayani satu orang nasabah membutuhkan waktu yang cukup lama.
Benar saja, sekira pukul 9, jumlah antrian yang sudah dipanggil belum ada setengah dari nomor antrian yang ayah miliki. Karena lamanya menunggu antrian, saya lalu untuk ke luar dari area bank tersebut menuju ke pinggiran Jalan Gunung Sahari untuk berjalan-jalan, mungkin saya menemukan penjual koran, ternyata tidak.
Sembari melihat-lihat lalu-lintas di Jalan Gunung Sahari di kawasan tersebut, mata saya tertuju ke beberapa spanduk yang terpasang pada pagar yang ada di tengah-tengah jalan tersebut. Ada 3 spanduk yang saya perhatikan. Ternyata, spanduk-spanduk tersebut berisi tulisan tentang kekecewaan terhadap Menpora. Hal ini berkaitan dengan kisruh organisasi sepak bola Indonesia. Lalu, saya sempat memvideokan spanduk-spanduk tersebut.
Karena menunggu nomor antrian yang masih lama dipanggil, perut sudah memanggil-manggil minta diisi. Awalnya, ayah menginginkan untuk memakan nasi uduk, tetapi kami tidak menemukan pedagangnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk memakan ketoprak saja yang penjualnya berada di luar tempat parkir motor.
Baru kali ini, kami mengalami menunggu antrian paling lama. Sudah jam 10, belum juga dipanggil. Pukul sebelas sudah lewat pun, panggilan belum datang juga. Akhirnya, jam 12 lebih sedikit, tulisan nomor antrian 373 terpampang di papan pada loket nomor 9. Ayah lalu mendatangi teller di loket tersebut untuk mengambil dana pensiun. Setelah dana diterima, sang teller juga memberikan sebungkus roti.
Hari ini merupakan hari yang cukup melelahkan hanya untuk urusan yang namanya menunggu. Betapa tidak, membutuhkan waktu sekira 6 jam untuk bisa menuju ke meja teller. Bagaimana dengan yang memiliki nomor antrian 600 atau 700, mungkin bisa sampai sore hari. Menunggu memang kegiatan yang tidak mengenakkan.
Post a Comment